Breaking

Senin, 24 Agustus 2020

Revisi Otsus Untuk Bersaing Dengan Provinsi Lain



Selama ini, UU Otsus Papua telah memberikan kewenangan pengaturan yang besar bagi daerah untuk menyelenggarakan pembangunan daerah melalui perdasi dan perdasus.

Hal ini bukan berarti tanpa masalah, karena aturan turunan dari pada UU Otsus ini berada dalam situasi politik lokal yang kerap tidak stabil dan seringkali bersifat elitis.
Sebagai kebijakan otonomi asimetris, UU otsus Papua menempatkan pemerintah provinsi sebagai pusat dari pelaksanaan otsus Papua.

Hal ini berbeda dengan otonomi yang dipraktekkan di wilayah lain dimana kabupaten/kota merupakan basis pelaksanaan otonomi sehigga jarak antara proses pemerintahan dengan aspirasi masyarakat tidak terlalu senjang. Sehingga, wajar saja jika realisasi otsus Papua dirasa tidak memberikan dampak yang maksimal pada masyarakat.

Oleh karena itu momentum revisi UU Otsus Papua haruslah menjadi sarana untuk merevitalisasi pelaksanaan otsus Papua agar berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat.

Sejumlah isu strategis hendaknya dapat didorong menjadi diskursus dalam pembahasan revisi UU Otsus Papua. Antara lain :

Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. UU Otsus Papua pperlu memberikan wewenang yang lebih besar bagi Kabupaten/Kota di Papua maupun di Papua Barat untuk terlibat dalam aspek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan daerah melalui alokasi dana otsus. Selain itu, pemerintah pusat juga perlu membuat aturan turunan UU Otsus agar lebih bersifat operasional dalam kaitannya dengan tata kelola dana otsus.

Kedua, transformasi kebijakan affirmasi politik agar tidak hanya berbasis pada etnis dimana selama ini dikenal dengan konsep afirmasi bagi Orang Asli Papua (OAP), menjadi affirmasi kepentingan masyarakat Papua. Etnisitas sebagai basis affirmasi harus ditransformasikan dalam konsep affirmasi yang lebih luas terutama yang menyangkut kepentingan hak-hak dasar masyarakat Papua yang multikultural atas akses kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan.

Ketiga, perlu sistem penyelenggaraan keuangan daerah yang lebih akuntabel dan transparan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance dalam tata kelola dana otsus. Hal ini perlu belajar dari pengalaman tata kelola dana desa yang partisipatif, transparan dan akuntabel.

Selama ini, dana otsus Papua kerap menjadi “bancakan” elit lokal Papua dan tidak mengalir menjadi alokasi pembangunan prioritas bagi masyarakat Papua. Karena itu, kelemahan tata kelola keuangan daerah yang bersumber dari otsus Papua perlu untuk diadopsi dalam revisi otsus Papua jilid II.

Keempat, revisi otsus Papua perlu menentukan prioritas dan target yang terukur serta limitasi waktu penyelenggaraan otsus. Hal ini penting sebagai pijakan bersama untuk mengukur sejauh mana kebijakan yang diterapkan tepat dan mencapai sasaran. Bahwa ketiadaan indikator yang terukur membuat alokasi otsus papua tidak memiliki sasaran yang bisa dinilai secara kualitatif dan kuantitatif.

Revisi otsus Papua Jilid II memang diperlukan untuk wilayah Indonesia paling timur tersebut, karena pembangunan di Papua memang mutlak diperlukan demi pemerataan pembangunan agar Papua memili daya saing dengan wilayah yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar